EXPOSSEIJAKARTA – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) mendorong penegakan hukum atas kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan berinisial YNQ yang terjadi di Nusa Tenggara Barat.
Dalam sebuah diskusi daring yang digelar Rabu (16/4/2025), FJPI bersama berbagai pihak menyerukan agar kasus ini diusut kembali berdasarkan Undang-Undang Pers.
Ketua Umum FJPI, Khairiah Lubis, menyatakan bahwa diskusi ini digelar sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama jurnalis perempuan dan upaya untuk menegakkan keadilan bagi korban. “Kita sebagai jurnalis tidak boleh membiarkan kekerasan terhadap jurnalis terjadi. Semoga keadilan untuk korban dapat ditegakkan,” ujar Khairiah.
Kasus yang menimpa YNQ, jurnalis Inside Lombok, terjadi saat ia meliput banjir di komplek perumahan milik PT MA di Kecamatan Labuapi, Lombok, pada 11 Februari 2025.
Ketika meminta konfirmasi dari pihak pengembang, korban justru mendapat perlakuan intimidatif. Unggahan media sosial korban diprotes, kredibilitasnya dipertanyakan, hingga akhirnya YNQ menangis dan memilih meninggalkan lokasi. Namun, salah satu pihak pengembang berinisial AG mengejar dan diduga melakukan kekerasan fisik dengan menarik tangan dan meremas wajah korban.
Kasus ini telah dilaporkan ke Polresta Mataram, namun penyelidikannya dihentikan dengan alasan unsur pidana dalam Pasal 335 KUHP tidak terpenuhi.
Padahal, menurut kuasa hukum korban, Yan Mangandar, laporan semula bermaksud menggunakan UU Pers. Ia menilai tindakan pelaku seharusnya dikategorikan melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan ancaman pidana bagi siapapun yang menghalangi kerja jurnalistik.
Lebih dari itu, YNQ mengalami trauma mendalam pascakejadian. Laporan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram mengungkapkan korban mengalami tekanan psikologis berat, terlebih karena kekerasan itu terjadi saat ia sedang mengandung.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia, Erick Tanjung, menyebut kasus ini janggal sejak awal. Ia juga mengingatkan bahwa penghentian penyelidikan menambah panjang daftar kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tidak ditindaklanjuti secara hukum. Menurut data AJI, tahun 2023 terjadi 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan 73 kasus sepanjang 2024.
“Meski jumlahnya menurun, bentuk kekerasannya semakin membahayakan,” kata Erick.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menggarisbawahi pentingnya dukungan dari berbagai pihak, termasuk perusahaan media dan organisasi masyarakat sipil, untuk mengawal kasus ini.
“Korban sejak awal sudah siap menjalani proses hukum dan perlu didampingi,” ucapnya.
Chikita Marpaung dari Lembaga Bantuan Hukum Pers juga menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi jurnalis merupakan amanat konstitusi.
“UU Pers harus menjadi instrumen utama dalam menangani kasus seperti ini, apalagi menyangkut kerja jurnalistik di lapangan,” katanya.
Dari sisi kepolisian, AKBP Endang Sri Lestari dari Polda Metro Jaya menyampaikan bahwa kasus dihentikan karena belum ditemukan unsur pidana. Namun, ia membuka peluang dilakukannya gelar perkara khusus. “Jika ditemukan fakta baru, kasus ini bisa dibuka kembali. Kuasa hukum juga bisa membuat laporan baru menggunakan UU Pers agar kasus ditangani oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda NTB,” jelasnya.(*/EXP-001)
Discussion about this post