SAYA KAGET membaca sebuah berita, salah seorang ketua organisasi wartawan mengenakan jaket pada salah satu kandidat dalam Pilgub Jambi. Apakah itu bentuk dukungan politik, ya jelas. Soalnya, sang ketua datang dan membawa embel-embel organisasi.
Musim pilkada ini memang memicu banyak pihak untuk terlibat, entah itu menjadi tim sukses atau menyatakan dukungan politik. Bahkan, secara tiba-tiba bermunculan organisasi baru ataupun media baru menjelang musim pilkada. Ironis ya?
Menjelang musim pemilu pada 2019 lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengeluarkan seruan mengenai independensi jurnalis, termasuk di media sosial. Salah satu poinnya adalah agar jurnalis menjaga independensi, yaitu dengan berhati-hati menyatakan pendapat di media sosial, termasuk pendapat mengenai calon tertentu, yang bisa membuat independensinya dipertanyakan.
Wartawan memang menjadi profesi yang dilarang terlibat dalam politik praktis. Kalau mentor saya, Andreas Harsono bahkan menyebut bahwa idealnya seorang jurnalis itu adalah makhluk asosial. Tidak mencari kawan dan tidak pula mencari lawan. Sungguh berat, etika yang harus dijaga, bukan?
Lalu apakah jurnalis atau media boleh berpihak? Ya tentu saja boleh. Eko Maryadi ketika menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen Eko Maryadi pada tahun 2014 menyatakan media boleh berpihak, tapi keberpihakan tersebut hanya memiliki satu nilai, yaitu kebenaran. “Kebenarannya adalah kebenaran jurnalistik, kebenaran berdasar fakta,” kata Eko.
Menurut Eko, kebenaran merupakan nilai yang harus terus disuarakan, meski pada akhirnya tidak akan menyenangkan bagi semua pihak. Dalam koridor semacam ini, jelas jika seorang jurnalis perlu berpihak.
Mengekspresikan dukungan politik di media sosial adalah biasa bagi publik luas, namun tidak bagi jurnalis. Sikap partisan jurnalis di media sosial akan memperparah ketidakpercayaan publik pada media yang terbelah oleh polarisasi politik.
Bayangkan, apa yang ada dalam benak pembaca, pemirsa, atau pendengar, jika mengetahui bahwa produk jurnalistik yang mereka nikmati merupakan hasil tulisan jurnalis yang amat transparan menampakkan kecenderungan dukungan pada seorang tokoh politik atau kelompok politik tertentu?
Sialnya, inilah yang terjadi. Dewasa ini, jurnalis makin terbuka untuk “berkicau” mengenai tokoh politik pilihan di akun media sosialnya. Ada pula yang sampai membuat “kultwit” (twit berseri di Twitter).
Tidak sedikit juga yang tak canggung mengunggah swafoto menampilkan kebersamaannya dengan salah satu tokoh politik, lengkap dengan keterangan foto yang mencerminkan dukungan kepada si tokoh.
Seorang jurnalis harus menjaga muruahnya selama dia masih berprofesi sebagai seorang jurnalis. Jayeon “Janey” Lee, Asisten Profesor di Departemen Jurnalisme dan Komunikasi di Lehigh University, membuat studi mengenai bagaimana interaksi jurnalis di media sosial mempengaruhi persepsi pembaca.
Hasilnya, meski jurnalis yang intens berinteraksi di media sosial dinilai positif secara personal, ia juga dinilai negatif secara profesional. Studi tersebut menunjukkan, bahwa menunjukkan preferensi, keberpihakan, dan opini personal di media sosial dapat membuat jurnalis dinilai kurang profesional. Maka, hal ini menjadi pelajaran baik bagi reporter maupun editor untuk tidak mengekspresikan opini pribadi yang berisiko mengancam kepercayaan pembaca.
Sadar akan hal ini, beberapa media di Amerika Serikat membuat pedoman bagi jurnalisnya dalam penggunaan media sosial. The New York Times misalnya, mengubah pedoman penggunaan media sosial bagi jurnalisnya pada 2017 lalu. Pedoman tersebut menekankan agar jurnalis tidak boleh mengungkapkan pendapat partisan, mempromosikan pandangan politik, mendukung kandidat, dan memberi komentar. Beberapa media di Indonesia pun kini mengikuti langkah yang … (*)
Penulis adalah Jurnalis di Jambi
Discussion about this post