EXPOSSE.COMIJAMBI – Di Kabupaten Tebo, yang terletak di wilayah Bentang Alam Bukit Tiga Puluh, kehidupan petani karet menghadapi berbagai tantangan yang mengancam kelangsungan mata pencaharian mereka.
Sejak 15 tahun lalu, banyak petani yang mulai beralih dari perkebunan karet ke perkebunan kelapa sawit. Salah satu faktor utama yang memengaruhi keputusan tersebut adalah harga.
Harga karet yang terus merosot, tak sebanding dengan upaya dan biaya yang dikeluarkan petani, membuat banyak petani merasa lebih memilih untuk beralih ke sawit, yang dianggap lebih menjanjikan dari segi profit.
Budi Ardiansyah, Ketua dari Kelompok Tani Maju Bersama yang terletak di Desa Muara Sekalao bersama para petani lainnya di Kabupaten Tebo, menceritakan bahwa perbedaan antara kelapa sawit dan karet sangat terasa dalam hal hasil dan kebutuhan perawatan.
Sawit, di anggap dengan harga yang stabil dan lebih mudah dalam hal perawatan, menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi banyak petani.
Sementara itu, karet membutuhkan perhatian lebih, apalagi dengan musim yang memengaruhi hasilnya. Ketika harga karet tidak lagi menguntungkan, tak jarang petani memilih untuk menebang pohon karetnya dan menanam sawit.
Namun, Budi dan kelompoknya mendapat dukungan dari Yayasan WWF Indonesia melalui program yang bertujuan mendorong pembangunan berkelanjutan untuk masyarakat sekitar hutan. Program ini memberikan pengetahuan baru kepada para petani tentang cara-cara yang lebih efisien dalam mengelola perkebunan karet.
Budi menuturkan, “Dulu kami tidak tahu, ternyata karet itu tidak harus dipotong setiap hari. Sekarang dengan memotong setiap dua atau tiga hari sekali, kami bisa memaksimalkan hasil getah karet kami”.
Melalui pelatihan yang diberikan oleh WWF, petani juga kini tahu bagaimana mengatasi penyakit karet yang selama ini sering menjadi masalah besar. Mereka diajarkan untuk bekerja secara berkelompok, saling berbagi pengalaman dan menimbang hasil karet secara adil. Pendekatan baru ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperbaiki kesejahteraan petani karet.
“Bangkit lagi kami para petani, dulu kami tidak tahu bahwa karet itu tidak harus dipotong setiap hari,” ujar Budi dengan semangat.
Dulu, para petani karet di kawasan ini memanen getah setiap hari, namun setelah mengikuti pelatihan dari WWF, mereka belajar bahwa cukup memotongnya setiap dua atau tiga hari sekali. Hal ini ternyata mampu memaksimalkan hasil getah tanpa harus mengorbankan kualitasnya.
“Ilmu yang kami dapatkan benar-benar mengubah cara kami bekerja,” lanjut Budi.
Selain itu, program WWF juga mengajarkan mereka untuk lebih peka terhadap penyakit yang bisa menyerang tanaman karet. Sebelumnya, banyak petani yang tidak tahu tentang penyakit karet, seperti Jamur Akar Putih. Namun kini mereka lebih siap menghadapi berbagai ancaman yang bisa merugikan hasil panen.
Namun, tak hanya soal harga dan pengetahuan yang menjadi masalah. Ada tantangan lain yang cukup unik di wilayah ini, yakni gajah.
Gajah-gajah liar yang berkeliaran di sekitar kawasan Bentang Alam Bukit Tiga Puluh kadang-kadang memakan pohon karet muda, merusak kebun petani.
Para petani juga memanfaatkan peluang dengan menggabungkan tanaman karet dengan tanaman lainnya. Misalnya, mereka menanam pinang, pete, jengkol, nangka, kopi, dan coklat di kebun karet mereka. Tak hanya memberi manfaat ganda, dengan cara ini mereka juga bisa mengurangi dampak negatif dari hama atau satwa liar.
Gajah, yang dikenal suka memakan pohon karet muda, ternyata tidak menyukai tanaman seperti jeruk, lada, atau kopi. Dengan menanam tanaman-tanaman ini di sekitar kebun karet, petani bisa melindungi pohon karet dari ancaman gajah.
Di sisi lain, untuk perkebunan kelapa sawit, tantangannya berbeda. Gajah sangat menyukai kelapa sawit, terutama buah yang masih muda. Keberadaan gajah yang sering berkeliaran di sekitar kebun sawit menjadi ancaman besar bagi para petani, karena kawanan gajah dapat dengan cepat merusak seluruh tanaman sawit dengan memangkas atau memakan buahnya.
Tidak seperti perkebunan karet yang bisa dicampur dengan tanaman lain, sawit tidak memungkinkan untuk ditanam bersama tanaman lain, karena membutuhkan ruang yang luas dan kondisi yang cukup spesifik. Hal ini membuat sawit lebih rentan terhadap serangan gajah. Tanpa perlindungan atau penanganan khusus, petani sawit sering kali mengalami kerugian besar akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan-hewan besar tersebut.
Kendati begitu, satu masalah besar tetap ada: banyak petani yang beralih ke sawit. Sejak 15 tahun lalu, pohon karet yang dulu melimpah kini hanya tersisa sekitar 20 persen. Ini menciptakan kekhawatiran bagi masa depan sektor karet di Kabupaten Tebo. Namun, dengan adanya dukungan dari program-program berkelanjutan, seperti yang diberikan oleh WWF, ada harapan bagi petani karet untuk kembali bangkit dan melanjutkan usaha mereka dengan lebih cerdas dan efisien.
Senada dengan apa yang diceritakan Budi, Di Desa Semambu RT 7, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Haris adalah salah satu petani karet yang tetap setia menjalani aktivitasnya sebagai penyadap karet, meskipun usianya telah menginjak 60 tahun. Baginya, menjadi petani karet adalah tradisi yang telah melekat sejak ia tinggal di kampung halamannya di Lampung. Kini, di tengah banyaknya tantangan, Haris tetap memilih bertahan.
“Kalau hujan deras malam sebelumnya, saya harus menunggu pohon tidak terlalu basah untuk mengambil getahnya,” cerita Haris sambil tersenyum. Aktivitas pagi hari menyadap karet bukan hanya pekerjaan baginya, tetapi juga menjadi bagian dari rutinitas yang menyehatkan.
“Sambil olahraga, jalan beberapa meter dari pohon ke pohon. Alhamdulillah, badan tetap bugar, tidak pernah ada sakit parah,” tambahnya.
Haris mengenang masa-masa ketika harga karet pernah mencapai Rp30.000 per kilogram. Namun, kondisi itu kini tinggal cerita. Meski begitu, ia tetap setia menjadi petani karet. Baginya, karet memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan sawit. “Walaupun harga karet rendah, tanpa pupuk pun masih bisa mengeluarkan getah. Itu yang membuat saya bertahan,” jelas Haris.
Bagi Haris, perbedaan mendasar antara sawit dan karet adalah pada fleksibilitasnya. Sawit memang menghasilkan, tetapi memerlukan pupuk dan perhatian yang intens. Sementara karet, meski lebih sederhana, tetap memberikan hasil yang cukup untuk kebutuhan hidupnya.
Saat Haris mulai bertani karet di Desa Semambu pada 2011, gajah sering menjadi tantangan utama. Gajah-gajah liar yang berkeliaran kerap memakan pohon karet muda. Namun, sejak banyak pendatang mulai menanam sawit pada 2013, situasi berubah.
“Sekarang gajah sudah tidak mau makan pohon karet lagi, maunya sawit. Itu juga yang membuat saya tetap menjadi petani karet,” katanya.
Menurut Haris, pohon karet yang telah dipotong memiliki aroma khas dari getahnya yang keras dan berbau, sehingga tidak menarik perhatian gajah.
Dirinya menyadari bahwa harus bisa hidup berdampingan dengan satwa yang di lindungi, sementara kelapa sawit adalah makanan yang disukai oleh gajah.
Dengan alasan itu, Haris bahkan tidak menanam satu batang pohon sawit pun di lahannya.
Namun, bukan berarti menjadi petani karet tanpa kendala. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Haris dan kelompok tani adalah penyakit karet, terutama jamur akar putih. Penyakit ini menyerang akar pohon, membuat produksi getah menurun drastis. Haris mengaku pernah mencoba berbagai cara untuk menanggulanginya, termasuk menggunakan garam.
Namun, metode tersebut justru membawa risiko lain. “Tanah jadi liat, dan cacing tanah yang menyuburkan malah mati,” ungkapnya.
Kini, Haris dan kkelompoknya juga mendapatkan pendampingan dari WWF. Salah satu solusi yang sedang dikembangkan adalah menanam jahe merah di sekitar pohon karet. Jahe dipercaya mampu mengurangi serangan jamur akar putih secara alami. “Jahe lebih baik. Mudah-mudahan bisa menanggulangi penyakit ini,” harap Haris.
Pendampingan dari WWF tidak hanya membantu dalam perawatan pohon, tetapi juga dalam pemasaran. Jika sebelumnya hasil karet dijual melalui tengkulak, kini Haris dan kelompoknya menjual langsung ke pabrik. Dengan cara ini, keuntungan yang didapat lebih besar, bahkan mampu menutupi biaya operasional.
Dalam seminggu, Haris mampu menghasilkan sekitar 98 kilogram karet, yang kini dihargai dengan lebih adil. Bagi Haris, karet bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari kehidupannya.
“Saya sudah tua, tapi karet ini tetap jadi sumber penghidupan yang membuat saya terus bergerak. Di usia 60 tahun ini, saya tetap bisa produktif, dan itu cukup untuk saya,” tutup Haris dengan nada penuh syukur.
Pemasaran bersama melalui Unit Pengelolaan dan Pemasaran Bersama (UPPB) menjadi salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani karet. Skema ini diperkuat dengan kecakapan finansial yang diterapkan melalui kelembagaan kelompok petani sasaran, yang dipelajari secara mendalam dalam Sekolah Lapang melalui Kelompok Belajar Agroforestry (KBA).
Melalui program ini, petani karet didorong untuk memastikan penjaminan kualitas, kontinuitas, serta volume produksi bokar (bahan olahan karet) guna mendukung pemasaran yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Menurut Sapwan, Livelihood Officer Landscape Bukit Tigapuluh WWF Indonesia, kehadiran UPPB merupakan hasil kolaborasi erat antara berbagai pihak, termasuk Dinas Perkebunan. Ia menambahkan bahwa WWF Indonesia mendukung UPPB melalui penyediaan infrastruktur seperti gedung, sementara Dinas Perkebunan berperan dalam membantu registrasi UPPB dan memfasilitasi musyawarah serta diskusi terkait penjualan karet.
“Dinas Perkebunan membantu proses registrasi UPPB. UPPB juga menjadi ruang diskusi bagi petani untuk membahas strategi pemasaran karet mereka,” jelasnya.
Dengan pendekatan holistik ini, UPPB tak hanya menjadi pusat pengelolaan dan pemasaran, tetapi juga ruang kolaborasi untuk mendukung petani karet meningkatkan daya saing mereka di pasar.
Perubahan ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak tantangan, masih ada peluang untuk memperbaiki nasib para petani karet. Dengan pengetahuan yang tepat, pemahaman akan keberagaman tanaman, dan dukungan yang kuat, petani karet di Tebo bisa kembali berkompetisi dengan sawit dan membangun kembali kekuatan sektor karet di daerah mereka.(IMG)
Discussion about this post