Oleh Ganda Cipta
SEMASA dia hidup, Ali Akbar Navis atau lebih dikenal dengan A. A Navis menghasilkan 5 antologi cerita pendek (cerpen), 5 novel, dan sebuah antologi pusisi. Karya-karya tersebut mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat, sehingga menempatkan lelaki kelahiran 17 November 1942 ini sebagai salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia.
Namun, dari apa yang telah diraihnya sebagai seorang sastrawan, Bukittinggi adalah kota penting baginya. Sebab di sanalah awal mula karir kepenulisannya. Untuk pertamakalinya, cerpen Navis dipublikasikan pada akhir 1955. Yakni Robohnya Surau Kami di majalah Kisah. Itu lima tahun setelah dia memulai karir kepenulisannya.
Pada masa itu, selain Navis, di Bukittinggi lahir juga sejumlah penulis seperti Motinggo Busye. Lalu ada juga Rusli Marzuki Saria yang juga baru menulis. Menurut pengamat sastra dari Universitas Andalas, Padang, Ivan Adilla, munculnya Navis dari Bukittinggi, sebagai sastrawan yang diperhitungkan, tak lepas fasilitas ruang publik dan budaya yang ada di kota tersebut.
Bukittinggi punya banyak percetakan yang melahirkan karya-karya roman pergaulan dan buku-buku tentang agama. Sehingga masyarakat Bukittinggi secara intelektual, punya wawasan bagus dan dengan mudah menerima karya-karya sastra dan kegiatan-kegiatan kebudayaan.
Di sana ada juga ruang pertunjukkan. Navis pernah ikut orkestra. Orkestra di sebuah kota, itu menandakan masyarakatnya punya apresiasi yang bagus terhadap musik klasik. Jadi, Navis besar dan mulai berkarya di kota seperti itu.
“Artinya, Navis lahir di sebuah kota, yang memiliki fasilitas ruang publik untuk melahirkan sastrawan,” ujar Ivan Adilla.
Karya-karya Navis lahir di situ dan kemudian kumpulan cerpennya dan novel awalnya di terbitkan di Bukittinggi oleh NV Nusantara. Selain Navis, karya-karya awal Pramoediya Ananta Toer, NH Dhini, Motinggo Busyes juga terbit di NV Nusantara.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang dikenal sebagai sastrawan dan diterima luas di sastra Indonesia. Artinya, pada waktu itu, Bukittinggi sebuah kota yang telah punya penerbitan dengan distribusi karyanya sudah tingkat nasional.
Strategi Tekstual
Dari karya-karya sastranya, Navis terlihat secara sadar melakukan strategi tekstual. Jadi ada masanya dia menulis karya-karya yang penuh cemooh, yang penuh kritik, dalam bahasa yang sarkastis. Itu terutama karya-karya awalnya dari tahun 1950-an hingga 1960-an, yang bicara tentang birokrasi. Di antaranya dalam antologi cerpennya Hujan Panas dan Kabut Musim, serta Bianglala.
Navis tampaknya sakit hati betul dengan birokrat yang dianggapnya hipokrit atau munafik. Sehingga karya-karyanya waktu itu adalah cemooh yang luar biasa. Dan itu kemudian orang mengenal Navis sebagai pencemooh.
Dalam karya yang kemudian, setelah dia menjadi anggota DPRD, sebagai intelektual Navis merasa dia harus tetap memberi kritik. Tetapi posisinya sebagai anggota DPRD dan dalam suasana orde baru yang cenderung otoriter dan meliteristis, dia tidak mungkin menulis karya seperti pada 1950-an itu.
Lalu dia menulis karya-karya yang sifatnya simbolik. Misalnya, Kucing Gubernuran, Kuda itu Bernama Ratna, Pendekar dan Ayam Jago. Itu karya-karya yang lahir tahun 1970-an sampai 1990-an.
“Itu karya-karya yang tampaknya secara sadar dibuat Navis secara simbolik. Jadi kritik tetap bisa jalan, pandangannya sebagai intelektual tetap bisa disampaikan, tapi bentuk karyanya tidak lagi realis namun simbolik,” terang Ivan, yang baru-baru ini menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan judul disertasinya A.A Navis dalam Arena Kesusasteraan Indonesia.
Pada tahun 1990-an, Navis sebenarnya lebih produktif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan lebih produktif dibandingkan 1950-an. Karya-karya pada periode ini bicara tentang Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagian dari karya itu telah ditulisnya lama, sebagian lainnya ditulis tahun 1990-an. Tetapi baru dipublikasikan setelah era reformasi.
Dari sana, Ivan melihat, Navis secara sadar menunda karya itu karena sampai 1990-an awal itu, orang-orang yang terlibat PRRI masih dianggap sebagai pengkhianat atau pemberontak. Tapi setelah era reformasi, Navis melihat ada suasana yang lain, barulah karya-karya yang lama itu ditulisnya kembali dan kemudian dipublikasikan.
Risikonya, karena tulisan-tulisan itu di koran dan halamannya terbatas, karya-karya dari periode 1970-an hingga 1990-an itu, problematikanya tidak serumit dan sekomplek pada era-era dia menulis di majalah. Ini membuat, kualitas dari cerpen-cerpen awalnya lebih bagus.
Selain menulis cerpen, Navis juga menulis Novel. Dia secara sadar membedakan fungsi cepen dan novel. Di cerpen dia menuliskan kesan, kritik, dan pengamatannya. Di dalam novel dia mengemukan ide dan cita-citanya.
Misalnya dalam Kemarau. Navis cukup kuat menunjukkan bagaimana dia berharap, seorang ulama yang rasional, yang sudah berpengalaman, untuk mengubah sebuah masyarakat desa.
Kemudian, di dalam Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi, dia menggambarkan bagaimana seorang perempuan berjuang untuk mempunyai makna, jati diri, dan bermanfaat bagi orang lain, meskipun dia seorang yang bisu tuli. Pada Di Lintasan Mendung (hanya terbit sebagai cerita bersambung di koran), dia menggambarkan perjuangan seorang pegawai negeri yang jujur, berusaha hidup secara baik dengan nilai-nilai yang baik dalam situasi yang koruptif.
“Jadi pada novel-novel itu, terlihat harapan dan cita-cita navis. Dan pada novel-novel itu, bahasanya amat deskriptif dan argumentatif, malah cenderung melankolis. Di novel-novelnya itu, tidak ada bahasa sarkastis dan cemooh seperti pada cerpen,” kata penulis buku A. A Navis: Karya dan Dunianya itu.
Navis sebenarnya orang yang memiliki cita-cita sederhana. Dia tidak ingin menjadi orang nomor satu. Dia hanya ingin jadi manusia yang terpakai. Dari perjuangannya di dunia sastra dan intelektual, dia mendapat lebih dari itu.
Dalam Sastra Indonesia, sebut Ivan Adilla, posisi terbaik yang diraihnya, ada pada awal karirnya. Tetapi karena pada masa berikutnya ada perubuhan ideologi dalam dunia kesenian, ada pengaruh politik, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang bersinggungan dengan Partai Komunis Indonesia, ada juga Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), lalu booming-nya sejumlah aliran di dunia sastra, seperti eksitensialisme dan surealisme, Navis tidak terlibat dalam arus itu.
Namum bukan berarti dia meninggalkan dunia sastra. Dia tetap bertahan. Ivan melihat, ada dua hal mencolok yang dilakukan Navis, untuk tetap berada dan diakui di dunia sastra pada masa-masa itu.
Pertama, dia berperan sebagai pengamat. Jadi ketika DKJ baru mulai sekitar tahun 1970-an awal, Navis diminta menjadi pemakalah dan bicara tentang aspek sosiologis masyarakat Minangkabau dalam novel-novel karya Indonesia. Tentang itu ada sekitar tiga atau empat tulisannya.
Tapi yang jadi makalah di DKJ tersebut adalah yang terbaik. Pada tulisan itu dia membahas bagaimana wanita Minangkabau, bagaimana masyarakat Minangkabau dan bagaimana hubungan karya sastra yang ditulis oleh orang Minangkabau dengan masyarakatnya.
Jadi Navis, meski dia tidak memiliki latar belakang kritik sastra, dia punya latar belakang budaya dan pengetahuan sosiologis. Dengan itu dia bisa menjelaskannya dengan baik sekali. Sejak masa-masa Balai Pustaka hingga ketika itu, banyak penulis-penulis dari Minang, tapi tidak ada yang menjelaskan, karena tidak ada kritikus yang menjelaskan. Dan Navis mengambil peran itu.
Pada satu sisi, itu sumbangan Navis untuk memahami masyarakat Minangkabau dari karya sastra. Di sisi lain, itu strategi yang cerdik untuk bertahan di lingkaran arena sastra Indonesia.
Kedua, Navis mengikuti lomba-lomba kepenulisan. Seperti sayembara penulisan novel remaja yang diselenggarakan Unesco/Ikapi. Dia menang dengan novel Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi. Lalu dia juga menang dalam lomba menulis cerpen yang diadakan majalah Femina dengan cerpennya Kawin. Kemudian cerpennya Jodoh juga menang dalam sayembara penulisan cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland.
Sebelumnya Navis tidak pernah mengikuti lomba. Dia juga tidak pernah mengikuti lomba yang diselenggarakan DKJ. Jadi meski posisinya agak di luar lingkaran utama kesusastraan, tetapi orang masih melihat dia, masih mengakui dia sebagai sastrawan dengan kemenanga-kemenangan itu.
“Jadi, dari strategi tekstual yang dilakukannya itu, bagi Navis, karya sastra itu sebuah perjuangan intelektual. Dia merasa, sebagai seorang intelektual dia memperhatikan lingkungan sosialnya. Kalau ada yang keliru dia akan sampaikan kritik, kalau ada yang salah coba dibenarkannya, kalau ada yang menurutnya penting disampaikannya lewat novel,” tutur Ivan Adilla.
Jadi, meskipun dia telah menjadi anggota DPRD, dia menulis buku tentang adat dan segala macamnya, tapi karyanya dalam bidang sastra tetap ada.
“Sebab, itulah caranya untuk menyampaikan pikiran-pikirannya,” ucap Ivan.
Sumbangan Navis
Lebih jauh dia menyampaikan, salah satu sumbangan terbesar A.A Navis dalam kesusastraan Indonesia adalah kemampuannya melihat persoalan sosial dan kemudian menuangkannya dalam karya sastra secara kritis dan menarik. Dalam karya-karyanya yang awal terlihat betul. Misalnya, Robohnya Surau Kami, Datang dan Perginya, dan Kemarau.
Karya-karya itu mengangkat persoalan-persoalan masyarakat yang ada di sekitarnya. Persoalan sehari-hari yang dilihat Navis dengan kritis. Tentang perkawinan incest yang mungkin terjadi karena orang menikah berkali-kali atau tentang sikap masyarakat yang dipenuhi takhayul.
“Tidak banyak orang yang melakukan itu dengan konsisten. Navis adalah orang yang gelisah melihat persoalan-persoalan itu,” tukasnya. (*)
Discussion about this post