Bertugas sebagai Jurnalis di wilayah rawan bencana, bukan hal yang mudah untuk tidak terlibat dalam aksi kemanusiaan. Yah, paling tidak, walau tidak sepenuhnya membantu masyarakat yang menjadi korban, setidaknya aku harus memiliki empati yang kuat untuk meringankan sedikit beban mereka, agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Memberikan dukungan moril, itu hal paling penting yang bisa aku berikan pada mereka, di samping membuat laporan secara terperinci di media tempat aku bertugas sebagai Jurnalis, Harian Sinar Harapan, tempat aku mengabdikan diri selama 14 tahun, hingga akhirnya berakhir pada Desember 2015 lalu.
Memberi penguatan mental, di sela-sela percakapan yang aku lakukan dengan beberapa korban gempa yang meringkuk kedinginan di tenda-tenda pengungsian, kala aku harus turun ke beberapa daerah untuk memantau kondisi korban, yang terkadang membuat aku menitikkan airmata secara diam-diam.
Bagaimana tidak, banyak korban yang harus meringkuk di tenda-tenda yang kadang tidak layak, seperti sarden, karena masih menunggu bantuan dari pemerintahan setempat, sudah membuat nafasku terasa sesak. Mesjid-mesjid dan Mushola yang beralih fungsi menjadi tempat penampungan sementara masyarakat korban yang rumahnya tak lagi bisa dihuni.
Jika pun ada rumah yang masih bisa ditempati, mereka tak berani untuk tidur dan sekedar beristirahat di rumah tersebut. Trauma dan ketakutan jika gempa susulan datang kembali, membuat mereka memaksakan diri untuk tidur di tenda-tenda darurat yang mereka bangun seadanya. Bayangkan, seperti apa dinginnya cuaca di daerah pegunungan dan perbukitan tersebut di kala malam.
Belum lagi kondisi tubuh korban yang luka-luka karena tertimpa bangunan rumahnya sendiri. Luka di sekujur tubuh, wajah-wajah kuyu dan mata-mata sembab karena tak bisa menahan tumpahnya airmata. Entahlah, aku tak bisa membayangkan, jika hal tersebut terjadi pada keluargaku. “Tuhan, lindungilah mereka, dengan segala kuasa-Mu”, tak henti-henti hatiku berdoa.
Sejak bertugas di Sumatra Barat (Sumbar), daerah kelahiranku, pada Tahun 2009 silam, memang tak sekali atau dua kali bencana datang dan membuat aku harus mengunjungi daerah-daerah yang terkadang sangat terpencil, pelosok desa yang berada bahkan di balik gunung dan masuk jauh ke pedalaman. Naik turun mendaki jalan tanah di tengah bukit.
Jika sebagian wartawan, memutuskan menunggu laporan dari Tim Pemprov yang bertugas ke lokasi. Tidak bagiku. Aku lebih senang langsung mengunjungi lokasi, mengetahui secara detail dan benar apa yang terjadi. Segera aku mencari informasi rombongan yang akan segera berangkat. Beberapa pihak yang kemungkinan segera on the way, aku hubungi.
Lagipula, hobiku menulis laporan berbentuk Human Interest untuk mediaku Sinar Harapan, membuatku harus mengetahui apa yang terjadi di lokasi. Merasakan dan melihat langsung bagaimana kondisi terkini masyarakat dan daerah yang ada di sana.
Bencana yang kerap terjadi di Sumbar saat itu, adalah gempa dan Letusan Gunung Merapi, karena Sumbar memang daerah rawan gempa dan memiliki beberapa Gunung Berapi yang masih aktif.
Jadi, sejak 2009, saat aku bertugas di Media Umum, entah sudah berapa kali aku turun ke lapangan, ke pelosok daerah yang sulit dijangkau dengan kendaraan umum, untuk merawat empatiku sebagai Jurnalis. Kemudian membuat laporan yang aku harapkan bisa menggugah jiwa-jiwa berbelaskasih yang kemudian ikut mengirimkan bantuan, seperti; makanan, selimut atau bahkan dana sekali pun, untuk membangun kembali pemukiman yang telah porak poranda tersebut.
Sebagai Jurnalis, aku hanya bisa menggunakan penaku untuk membantu para korban, karena menekuni profesi ini, bagiku adalah panggilan jiwa. Mengabdikan diriku untuk masyarakat. Meski aku tahu, akan banyak sekali hal-hal di luar kebiasaan yang akan aku lakukan, demi mencapai niatku itu.
Seperti kata orang, menjadi Jurnalis; sebelah kakiku akan berada di surga dan sebelahnya lagi berada di neraka. Namun paling tidak, aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakat dan keluargaku. Seperti yang dikatakan Almarhum Papaku Gustian Kurniawan, yang telah berpulang pada Oktober 2018 lalu, “Papa bangga Neng jadi jurnalis. Mengabdilah dengan hati ya Nak, untuk masyarakat,” pesan Almarhum Papa.
Awal April 2004 silam, aku masih ingat peristiwa yang membuat aku bergegas mencari info rombongan yang segera berangkat ke daerah Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumbar. Gempa berkekuatan 7,4 SR, telah menghancurkan ribuan rumah di wilayah itu.
Data yang berhasil aku himpun dari Posko Bencana Alam di Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar lewat telepon menyebutkan; selain korban manusia, bencana itu juga telah mengakibatkan 1.158 rumah penduduk hancur dan rusak parah, 74 sekolah rusak parah dan tidak bisa lagi dipergunakan untuk menampung korban bencana sekalipun.
Kemudian sebanyak 47 rumah ibadah, Mesjid dan Mushola juga mengalami rusak parah. Kejadian tersebut, totalnya menimbulkan kerugian sebesar Rp15 Miliar. Ini bukan jumlah kerugian yang kecil.
Setelah telepon sana dan telepon sini, aku akhirnya ikut berangkat dengan rombongan DPRD Provinsi Sumbar. Aku berangkat tidak sendiri, bersama aku, saat itu ada beberapa wartawan media lokal dan satu TV Nasional, yang sengaja diajak untuk membantu publikasi kondisi terkini di lokasi pada masyarakat Sumbar dan nasional.
Sekian jam perjalanan, sampailah aku dan rombongan di lokasi bencana. Seperti yang aku perkirakan, mobil tidak bisa langsung mencapai lokasi-lokasi yang tersebar di banyak titik. Lokasi itu harus dicapai dengan berjalan kaki, mendaki perbukitan dan masuk ke pedesaan yang letaknya belasan kilometer dari capaian kendaraan minibus yang kami gunakan.
Menjadi Jurnalis Sekaligus Tim Medis
Mencapai lokasi dan menyaksikan korban-korban secara berkelompok terduduk lesu di depan bangunan rumah mereka, membuat membuat airmataku ingin tumpah. Bagaimana tidak, para korban tersebut bukan saja terdiri dari tubuh-tubuh muda yang kokoh, tapi juga banyak yang berusia senja dan balita, bahkan bayi, yang terpaksa tidur di tenda yang mereka bangun seadanya, dengan terpal atau kain panjang yang tidak layak untuk ditempati. “Tuhan! Lindungi mereka,” pintaku dalam hati.
Kudapati beberapa penduduk yang mengalami luka, dari yang lecet-lecet di kulit saja, sampai pada yang lukanya lumayan mengkhawatirkan karena tertimpa bangunan rumah saat gempa terjadi. Lagi-lagi aku harus menahan airmata. Aku tak ingin luka mereka bertambah dalam karena melihat wajah-wajah sedih kami yang datang saat itu.
Beberapa Tim medis yang dibawa pihak DPRD Sumbar saat itu bergerak cepat. Mereka memberikan perawatan medis pada para korban dengan penuh perhatian.
Jujur, meski aku bukan perempuan cengeng, sesak sekali dada ini, melihat beberapa perempuan dan lelaki tua menahan sakit ketika luka mereka dibersihkan oleh Tim Medis dengan alkohol dan kemudian membalutnya dengan perban, agar luka tersebut tidak infeksi. Paling tidak, sampai mereka berhasil dievakuasi ke Rumah Sakit terdekat.
Tidak mudah membawa mereka keluar dari lokasi, selain dengan cara mengendong dan membawa dengan tandu beberapa korban yang lemas dan terluka tersebut.
Apa yang aku lakukan kala itu? Aku hanya bisa menyabarkan mereka, sambil membantu Tim medis. Jadilah aku sebagai asisten bagi Tim Medis kala itu, membersihkan luka, membalut dan mengambil obat-obatan yang dibutuhkan dari kotak P3K.
Kondisi ini, bukan yang pertama dan terakhir kalinya aku hadapi, sejak bertugas di Sumbar. Masih ada kondisi-kondisi serupa yang aku hadapi. Kondisi yang mengharuskan aku untuk melihat dan merasakan penderitaan mereka.
Pada 12 April 2005, terjadi letupan Gunung Talang di wilayah Kabupaten Solok, yang tidak menyebabkan aku berhadapan dengan korban-korban penuh luka. Namun menyaksikan sendiri masyarakat setempat yang mengalami sesak nafas karena semburan debu vulkanik. Rumah-rumah kosong ditinggal penghuni, yang belasan centimeter tertimbun debu. Sebanyak 26.200 jiwa atau 5.072 KK mengungsi ke daerah aman karena kondisi tersebut.
Dan aku masih ingat kala itu, nyawaku hampir saja melayang, jika saja terlambat turun dari pinggang Gunung Talang pada sore itu. “Duaaaar!” Bunyi yang cukup keras, berdentum di telingaku, tepat lima menit aku berhasil mencapai zona aman. “Tuhan! Terimakasih!” Bisikku.
Berhentikah atau hilangkah keinginanku untuk mencapai lokasi bencana, sejak saat itu? Tidak! Hingga saat tulisan ini kutulis, aku masih yang dulu. Tetap memiliki empati yang besar untuk masyarakat dan berita-berita yang kutulis. (**)
Discussion about this post