MANUVER PDIP dan pernyataan-pernyataan nyeleneh sejumlah elitnya, termasuk Megawati dan Puan Maharani, makin menyudutkan posisi calon kepala daerah (cakada) yang diusung partai dengan simbol banteng bermata merah ini.
Kampanye cakada PDIP dalam Pilkada 2020 ini sia-sia, tergerus dari atas, sebagai dampak kemarahan publik atas manuver elit partai itu sendiri. Kondisi ini mau tidak mau juga dialami Calon Wakil Gubernur Jambi Ratu Munawaroh.
Diprediksi, elektabiltas janda mantan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin ini mengalami stagnasi dan cenderung merosot sejak awal dia bergabung dengan partai ini. Simpati massa kepadanya, terlebih kepada partai pengusungnya itu (PDIP) hilang. Massa takut. Warga khawatir.
Rentetan manuver PDIP yang diyakini justru menghancurkan kredibilitas petugas partainya di daerah, yang tengah mencalon sebagai kepala daerah, sejatinya sudah dimulai sejak lama.
Sepekan sebelum pendaftaran calon kepala kepala daerah, Ketua DPP PDIP Puan Maharani menyulut emosi publik, khususnya warga Minang di Sumatera Barat, termasuk di Jambi.
Pernyataan Puan tentang nasionalisme orang Minang dan Sumatera Barat, meleber kemana-mana. Publik menyebut, ego kepartaian Puan tampak nyata menafikan asal usul dirinya yang justru kental berdarah Minang, baik dari garis bapaknya, Taufik Kiemas, maupun ibunya, Megawati, yang merupakan anak Fatmawati yang berdarah Minangkabau.
PDIP akhirnya gagal mengusung calon gubernur di Sumbar. Surat rekomendasi ke cakada bahkan dikembalikan ke partai itu oleh kedua calon. Bahasa kasarnya, orang Minang tak butuh PDIP. Alih-alih minta maaf, dengan sombongnya sejumlah politisi PDIP membela matian-matian Puan. Sampai kini, tak pernah ada kata maaf dari Ketua DPR itu.
Manuver yang jadi blunder besar sebenarnya sudah terjadi sejak heboh-hebohnya pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Publik marah dan demo menolak RUU ini. Mereka melihat fakta PDIP melalui fraksinya di Senayan mengusulkan RUU itu. RUU yang disebut-sebut akan mengganti Pancasila dengan konsep Trisila dan Ekasila. Sila Sila dalam Pancasila akan diperas menjadi Gotong Royong. Dengan menghapus sila-sila lain di dalamnya termasuk Ketuhanan yang Maha Esa.
Massa berang. Marah. Sampai kini RUU itu belum dicabut, hanya ditunda pembahasannya. Stigmatisasi PKI yang diembus-embuskan orang kepada PDIP makin menjadi-jadi. Barangkali itulah yang bikin Megawati marah-marah pada 28 Oktober 2020 kemarin. “Masa presiden kelima dibilang PKI terus,” kata Ketua Umum PDIP itu. Kalian harus lawan, seru dia kepada kadernya.
Tak lama, Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan. Puan lagi-lagi menunjukkan kesewenangannya dengan mematikan mikorofon anggota DPR yang protes disahkannya RUU itu. Demo berjilid-jilid anak bangsa, tidak sekali direspon oleh DPR yang dipimpin cucu Soekarno itu. Belum lagi usai kekecewaan massa, Ketua Umum PDIP Megawati malah nyeletuk, menyudutkan pemuda, anak-anak milenial yang berunjuk rasa menentang Undang-Undang itu. Dia menanyakan sumbangsih milenial kepada bangsa.
Calon Wakil Gubernur Jambi Ratu Munawaroh bisa jadi masygul, kecewa dan menyesalkan banyak kejadian itu. Tapi apalah daya Ratu, dia cuma petugas partai, yang seluruh kebijakannya, tindak-tanduknya harus mengacu kepada garis partai, ideologi partai. Dia ibarat debu di gurun PDIP yang tengah berkuasa.
Sebagai petugas partai, Ratu harus menjunjung tinggi ideologi partai. Dia harus mendukung terlaksananya RUU HIP, termasuk pelaksanaan Omnibus Law. Tidak dapat dia berdiri bersama buruh, mahasiswa, dan tokoh-tokoh lainnya yang menentang Omnibus Law, RUU HIP, UU Minerba atau lainnya. Dia harus kukuh menyatakan bahwa Trisila dan Ekasila adalah konsep yang ideal dan patut dijadikan dalam UU HIP.
Sebagai cakada, Ratu tahu bahwa puluhan ribu suara milenial di Jambi, sangat potensial mendongkrak elektabiltasnya dalam pilgub ini. Untuk itu, Ratu yang sudah berusia kepala 4 dengan 2 anak ini rela bergaya kemuda-mudan. Berpose bak milenial. Dengan outfit “blink blink”, sporty dan trendy.
Gaya yang selama ini, sejauh pengamatan publik, sejak menjadi istri mendiang Zulkifli Nurdin, tidak pernah sekalipun tampak darinya. Dia yang biasa berpenampilan kalem, bersahaja dan simpatik ini harus membelah diri dalam situasi-situasi tertentu, kadang bergaya setengah muda, dan kadang pula harus tampak sebagai aslinya; setengah tuwa.
Aduh, Mbak Mega, mengapa harus begitu?
(*)
Foto: Facebook
Discussion about this post