JAMBI – Pemerintah akhirnya menaikkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Pertalite dari harga semula Rp7.650/liter menjadi Rp10 ribu/liter, solar subsidi dari Rp5.150 per liter jadi Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp12.000 jadi Rp14.500 per liter.
Sudah barang tentu, naiknya harga BBM menyebabkan daya beli masyarakat turun tajam sehingga dapat mengganggu pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Seperti biasa, pemerintah beralasan kenaikan ini karena anggaran subsidi BBM pada APBN terus membengkak, meningkat tiga kali lipat di tahun 2022 dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Meski, pemerintah tak pernah keberatan jika yang mengalami pembengkakan itu proyek – proyek infrastruktur besar dan mercusuar.
Alasan ini sebenarnya berlawanan dengan kondisi masyarakat saat ini belum siap menghadapi kenaikan harga BBM. Apalagi, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) secara tahunan hampir menyentuh 11% (year-on-year/yoy) pada Juli 2022.
Secara psikologi ekonomi, kenaikan harga BBM seperti Pertalite, Solar, dan Pertamax merupakan langkah kejam pemerintah kepada masyarakat. Dikatakan kejam karena naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) akan sangat membebani masyarakat. Ketika tekanan pandemi Covid-19 belum sepenuhnya hilang, angka inflasi yang tinggi, beban hidup mereka bertambah oleh kenaikan harga BBM.
Kenaikan harga BBM pasti berdampak besar terhadap seluruh lapisan masyarakat, mulai dari orang miskin yang paling terdampak, kelas menengah yang rentan, hingga para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ilustrasi sederhana, misalnya, masyarakat kelas menengah yang sebelumnya mampu membeli Pertamax. Namun dengan naiknya harga Pertamax beberapa waktu lalu telah membuat mereka ramai-ramai bermigrasi ke Pertalite.
Jika harga pertalite juga ikut naik, maka kelas menengah akan mengorbankan belanja lainnya sehingga dapat berimbas kepada hal-hal lain seperti serapan tenaga kerja.
Misal, sebelumnya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru, akhirnya tergerus untuk beli bensin. Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar.
Selanjutnya, jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi. Suatu kondisi yang digambarkan dengan peningkatan pengangguran yang terjadi bersamaan dengan kenaikan harga-harga.
Muaranya, pemulihan ekonomi yang selama ini tengah berjalan dapat terganggu akibat daya beli turun tajam. Selain itu kenaikan harga BBM sudah pasti dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, konsumsi masyarakat yang merupakan mesin utama pertumbuhan akan terdampak.
Jika ada kenaikan pasti akan ada bantuan tunai. Untuk meredam dampak kenaikan BBM ini, pemerintah menyalurkan bantuan sosial (bansos) senilai Rp24,17 triliun. Namun, ini tidak akan cukup untuk meredam dampak kenaikan harga BBM. Karena bansos itu tidak akan melindungi kelas menengah yang berpotensi menjadi miskin akibat kenaikan harga BBM ini.
Dibanding menaikan minyak pemerintah semestinya membatalkan belanja-belanja yang menjadi beban APBN, seperti proyek ibu kota negara (IKN), lalu, proyek-proyek infrastruktur yang lemah proyeksi benefitnya terhadap APBN. Proyek yang sebenarnya bisa dialihkan dulu untuk menangani subsidi BBM.
Berbagai proyek strategis nasional cenderung mengalami pembengkakan biaya (cost overrun). Selain itu, pemerintah dapat memperkuat bantalan sosial dengan menaikkan upah minimum, sejalan dengan inflasi yang melonjak. Naiknya harga BBM akan mendorong inflasi inti, yang kemudian akan meningkatkan inflasi secara keseluruhan.
Selain itu pemerintah bisa mengambil langkah lain, seperti menggunakan ruang defisit anggaran di atas 3 persen. Belanja masih bisa ditambah untuk subsidi dan penyaluran bantuan sosial, karena 2022 ini menjadi tahun terakhir dalam pelebaran defisit APBN.
Di tingkat daerah dengan kenaikan BBM dan Inflasi ini, Upah minimum semestinya mengalami penyesuaian, karena UMP sebagai jaring pengaman sosial yang mendasar menjaga daya beli. Katakanlah tingkat inflasinya naik sampai 8-9 persen maka upah minimum harus disesuaikan, minimal setara dengan inflasi.
Stimulus-stimulus kepada masyarakat selama masa pandemi pun, harus tetap dipertahankan, seperti bantuan subsidi upah. Hal ini mengingat dampak kenaikan harga BBM yang sangat luas dan multi sektoral, jauh lebih luas dari pada dampak bantuan sosial. (*)
Penulis adalah Pengamat Ekonomi Jambi
Discussion about this post